Pengendalian Resiko pada Reasuransi Syariah (Re-Takaful) | Web Edukasi - Sanabila.com

Home

Daftar Isi

Instagram

Google+

Facebook

Twitter

Pasang Iklan

Refresh
Loading...

Pengendalian Resiko pada Reasuransi Syariah (Re-Takaful)

Pengendalian Resiko pada Reasuransi Syariah (Re-Takaful)

Pengendalian Resiko pada Reasuransi Syariah (Re-Takaful)Pada artikel kali ini, sanabila.com akan membahas tentang Pengendalian Resiko pada Reasuransi Syariah (Re-Takaful).   Pengertian dari Reasuransi Syariah (Re-Takaful) adalah suatu proses saling menanggung antara pemberi sesi (ceding company) dengan penanggung ulang (reasuradur) dimana ada proses saling menyepakati resiko dan persyaratan dalam subuah perjanjian (akad) yang dalam mekanisme operasionalnya menggunakan prinsip syariah (terbebas dari praktek riba, gharar, dan maisir).

Mekanisme atau ruang lingkup kerja perusahaan asuransi adalah berusaha untuk mengontrol dan mengatur manajemen risiko serta return dari ketidakpastian di masa yang akan datang. Risiko selalu melibatkan dua istilah, yaitu ketidakpastian dan kerugian, entah kerugian fisik maupun finansial. Yang pasti, tidak ada seorangpun atau satu perusahaan pun yang mengharapkan kerugian.

Perusahaan asuransi akan menerima klaim pertangungan dari para nasabahnya pada waktu yang tak terkirakan sebelumnya, sehingga hal ini akan memberikan konsekuensi kepada perusahaan untuk menentukan besarnya tingkat retensi yang harus ditetapkan. Sehingga, ketika perusahaan berupaya untuk meminimalisir jumlah kerugian dari suatu klaim, maka perusahaan akan mengambil suatu jumlah tertentu sebagai jaminan atas risiko yang ditanggung, jumlah inilah yang disebut dengan retensi.

Retensi resiko adalah perkiraan secara internal, baik secara utuh maupun sebagian, dari dampak finansial suatu resiko yang akan dialami oleh perusahaan. Dalam mengadopsi strategi retensi resiko ini, perlu dibedakan antara 2 jenis retensi yang berbeda yaitu :
  1. Retensi resiko yang terencana (planned) adalah asumsi yang secara sadar dan sengaja dilakukan oleh kontraktor untuk mengenali atau mengidentifikasi resiko. Dengan strategi seperti itu, resiko dapat ditahan dengan berbagai cara, tergantung pada filosofi, kebutuhan khusus, dan juga kapabilitas finansial dari kontraktor itu sendiri.
  2. Retensi resiko yang tidak terencana (unplanned) terjadi ketika kontraktor tidak mengenali atau mengidentifikasi keberadaan dari suatu resiko dan secara tidak sadar mengasumsi kerugian yang akan muncul.

Penetapan retensi perusahaan akan selalu dievaluasi secara komprehensif dan berkesinambungan, karena kesalahan dalam menetapkan batas retensi akan mengakibatkan terganggunya kondisi keuangan perusahaan asuransi tersebut. Sehingga apabila batas retensi yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dari klaim yang harus dibayarkan, maka perusahaan akan menghadapi risiko default, yaitu perusahaan tidak mampu menutup klaim yang diajukan oleh anggota secara penuh. Apabila hal tersebut terjadi, maka terdapat dua pihak yang mengalami kerugian, yaitu : Pertama, nasabah yang mengalami musibah karena tidak mendapatkan ganti rugi secara penuh sebagaimana yang telah disepakati; Kedua, perusahaan asuransi syariah itu sendiri pun selanjutnya dinilai tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga nasabah yang lain akan menarik diri dari kepesertaan, yang kemudian akan berpindah ke perusahaan asuransi lain yang menurut para nasabah memiliki pengelolaan resiko yang lebih baik dan amanah.

Keterbatasan kemampuan dari perusahaan-perusahaan asuransi itulah yang pada akhirnya mendorong kebutuhan akan adanya perusahaan reasuransi. Melalui mekanisme reasuransi ini tercipta saling pikul risiko, dimana perusahaan asuransi mengasuransikan kembali kelolaan premi dari para anggotanya kepada perusahaan reasuransi. Perusahaan asuransi membagi atau menyebarkan sebagian portofolio risiko premi asuransi kepada perusahaan reasuransi.

Kontrak atau akad pembagian risiko ini menjadi kebijakan perusahaan seutuhnya, yang dilakukannya dengan perusahaan reasuransi, sehingga tidak menuntut keterlibatan anggota di dalamnya. Karena itu, potensi risk dan return yang meliputi kontrak tersebut, menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Kendati demikian, pengaturan soal ini tentunya harus dinyatakan secara tegas sebelumnya dalam kontrak antara anggota dan perusahaan asuransi, bahwa perusahaan asuransi diperkenankan mengadakan kontrak dengan perusahaan reasuransi tanpa persetujuan anggota, sepanjang tujuannya adalah untuk melindungi perusahaan asuransi dan para anggotanya.


Diterapkannya prinsip tabarru’ (tolong menolong) akan mendorong para peserta asuransi syariah saling membantu peserta lainnya yang tertimpa musibah, sehingga perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai pengelola dana peserta asuransi syariah tersebut. Begitupun halnya dengan hubungan antara perusahaan asuransi dengan perusahaan reasuransi. Dalam skema investasi, maka dana peserta asuransi syariah hanya dapat ditanamkan kepada investasi-investasi yang halal saja. Perbedaan operasional ini tentu saja mengakibatkan perbedaan dalam perhitungan premi dan pemberian return. Perbedaan ini seharusnya dapat dipahami oleh para peserta asuransi syariah.
Written by: sanabila.admin
Sanabila, Updated at: 8/01/2015